31.12.17

22.10.17

Transisi

Melihat blog salah satu teman yang kini sedang memulai hidupnya di Jogja, ada rasa ingin untuk kembali menulis juga. Sudah berapa lama aku tidak menulis di blog ini? Pengennya sih pakai bahasa formal, tapi informal juga nggak salah kan?

Kali ini aku akan bercerita tentang masa transisiku dari SMA ke jenjang kuliah. Sebelumnya, akan kuceritakan sedikit kisah dari awal masuk SMA.


Flashback~flashback~




Aku masuk SMA sekitar pertengahan tahun 2014, alhamdulillah, bisa masuk sekolah negeri favorit di kota tempatku tinggal. Sebenernya NEMku nyaris tidak cukup untuk masuk ke sekolah ini, tapi dibantu dengan prestasi yang ketika itu bisa menambah poin satu komaan, bertahanlah namaku di laman website penerimaan siswa baru. Ada ceritanya lagi sih, tapi nanti bakal kepanjangan. :)

Sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan MAN ketimbang SMAN. Why? Soalnya sekolah ini memiliki lingkungan yang cukup religius. Saat ospek dulu, aku pernah tidak sengaja berdiri cukup berdekatan dengan lawan jenis di lapangan sekolah, lalu dari atas tribun, ada kakak kelas berteriak ke arahku; "JAGA HIJABNYA, DEK!". Kaget, buru-buru aku menjauh dari semua cowok yang ada di sekitar itu. Ooo, jadi sekolah ini kayak begini, ya. Begitu pikirku. Namun aku cukup senang karena dengan bersekolah disini, ada banyak perubahan yang aku rasakan. Oya karena ini sekolah favorit juga, jadi tidak heran kalau disini banyak yang ambis (re: ambisius). Di setiap kelas, pasti ditemukan siswa yang sibuk belajar walaupun jam sedang kosong (hm, nggak juga sih, kadang sekelas nonton film pakai proyektor hehe). Aku tipe orang yang mengikuti lingkungan, kalau lingkungannya bagus, aku bakal ikut berusaha untuk berperikalu bagus juga. Kalau buruk gimana? Hmmm. Who knows?

Selama 3 tahun aku menjalani kehidupan di sekolah ini, tentu banyak pengalaman yang kurasakan. Dari kegiatan sekolah yang cukup padat, ekskul, event-event, study tour, hingga remedial ulangan sejarah seangkatan (?). Begitulah, ada suka dan duka. Namun, aku menikmati itu semua.

Kali ini aku akan menceritakan kisah di kelas 12, masa dimana hura-hura kelas 11 berganti menjadi masa-masa bertaubat. Serius, hari pertama awal kelas 12, sudah ada yang mengerjakan buku soal SBMPTN seperti Wangsit, soal-soal dari Zenius, belajar pelajaran UN di buku SPM, dsb. Aku sendiri di hari pertama masuk kelas 12 hanya membawa binder, kukira hari pertama diisi dengan kegabutan, tapi aku mulai merasa tidak nyaman saat melihat yang lain sudah mulai belajar sedangkan aku masih berdiam diri. Akhirnya aku mencoba untuk pergi ke perpustakaan, dan taraaa! Ramai sekali dengan kelas 12. Wow. Hawa kelas 12 sudah benar-benar terasa bahkan di hari pertama.

Hal yang cukup ku senangi adalah di saat waktu dhuha. Dulu mushola akhwat cukup sepi saat dhuha, namun saat kelas 12 ini mulai ramai siswi-siswi yang mengerjakan shalat dhuha. Bahkan yang biasanya agak malas shalat pun juga ikut shalat sunnah. Waaa, can you feel it? I really appreciate it.

Sebenarnya lumayan rindu sih dengan suasana santai di kelas, tapi mau nggak mau semua orang harus serius sekarang. PTN, semua anak mengejar itu. Nggak semua sih, ada yang mau di akademi kepolisian, tentara, STAN, dll. Aku sendiri juga mengejar perguruan tinggi negeri. Kala itu, aku sangat "doctor-oriented". Apapun universitasnya, yang penting aku harus bisa kuliah di Fakultas Kedokteran dan menjadi seorang dokter THT. Saat aku duduk di kelas 4/5 SD, aku pernah dioperasi karena penyakit sinus. Dokter yang merawatku waktu itu pernah memberiku hadiah sebuah notes lucu dan menggambari halaman pertamanya dengan gambar vas bunga. Aku benar-benar senang dan berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan menjadi dokter THT seperti beliau kelak.

Dokter, untuk mencapai itu hanya mudah dikatakan dengan kata-kata saja. Perjuangan untuk meraih sebutan itu sulit. Dengan naifnya, sejak TK, SD, SMP, aku bisa berkata bahwa aku akan menjadi seorang dokter. Dan saat di SMA ini, jika ditanya cita-citaku apa, aku tetap menjawab "dokter", dengan suara yang tidak senyaring dahulu. Pelan, seperti ada keraguan.


Anak-anak dengan peringkat paralel teratas di angkatanku menginginkan Fakultas Kedokteran. Aku sempat minder. Di masa SMA, aku hanya siswa rata-rata. Kadang masuk 10 besar, kadang tidak. Rekor ranking tertinggiku di SMA adalah peringkat 7, dengan nilai rata-rata semester 1-5 hanya 8,3 untuk pelajaran MIPA, keyakinanku untuk menjadi dokter semakin menciut. Bagaimana tidak? Yang mendaftar jalur undangan fakultas kedokteran itu setidaknya memiliki nilai rata-rata 8,6 - 90.

Di tahun 2017 ini, tidak semua siswa dapat mendaftarkan diri di seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur undangan a.k.a SNMPTN. Kalau tidak salah, untuk sekolah berakreditasi A mendapatkan kuota 50% untuk mendaftarkan siswa terbaiknya, sekolah berakreditasi B 25%, dan sekolah berakreditasi C 10%. Sekolahku berakreditasi A sehingga bisa mendaftarkan setengah dari siswanya ke jalur undangan. Kira-kira sekitar 160 dari 320an siswa. Namun, semua siswa bisa memasukkan namanya ke laman pendaftaran, yang nantinya akan diseleksi menjadi bagian dari 160 siswa tersebut, dan akan disaring lagi hingga akhirnya lulus dan mendapatkan bangku kuliah lebih awal ketimbang teman-temannya yang lain.

Tentu aku memasukkan namaku. Ketika hari pengumuman siapa saja 160 siswa itu, aku berharap-harap cemas. Pukul 8 pagi, sekolah menginstruksikan para siswa untuk membuka website penerimaan snmptn. Aku melihat akunku di ponsel temanku. Tara! Merah! Cepat-cepat aku log-out dari akun dan mengembalikan ponsel temanku. Temanku ini diterima, dan ia bertanya bagaimana aku, diterima kah? Aku hanya bisa tersenyum menggeleng. Kecewa? Tentu. Malamnya aku menangis di rumah. Kecewa pada diri sendiri, kenapa, bahkan untuk mendapat posisi 50% teratas saja tidak bisa. Apalagi diterima? Aku mulai memikirkan bagaimana panitia SNMPTN menyeleksi pesertanya. Apa karena nilai fisika dan matematika ku yang rendah kah?

Besok harinya, aku bertemu dengan salah seorang teman. Ia diterima sebagai salah satu dari 160 siswa teratas. Bingung, padahal bila aku bandingkan dengan nilainya, nilaiku jauh lebih tinggi darinya. Apa karena dia baik? Apa karena dia lebih rajin beribadah? Dan mulai hari itu, saat aku pulang, aku berdoa lebih khusyuk. Semoga setidaknya aku bisa diterima di jalur tulis / SBMPTN. Selesai shalat. Mataku melihat ke arah ponsel. Rasanya ada sesuatu yang mengusikku, menyuruhku untuk kembali membuka laman SNMPTN. Aku hanya tertawa pelan. Mana mungkin aku diterima. Namun jariku tetap mengetikkan alamat website. Saat kubuka. Hijau. Aku terdiam. Buru-buru mencari ibuku dan memeluknya sambil menangis. Aku diterima untuk mendaftar jalur undangan!

Tapi ingat, ini baru pengumuman peserta yang diizinkan mendaftar. BUKAN pengumuman peserta yang diterima di bangku kuliah.

Rasanya seperti tidak tahu diri, tetapi aku tetap mendaftarkan Fakultas Kedokteran di jalur SNMPTN / undangan. Dengan pilihan pertama FK Unpad dan pilihan kedua Biologi IPB. Dari semua mata pelajaran MIPA, aku paling senang dengan Biologi dan paling membenci Fisika. Biologi SMA itu mudah bagi kebanyakan orang, menghafal lebih disenangi daripada berhitung disini, terbukti saat diberikan pilihan pelajaran yang akan di UNkan, kebanyakan siswa di sekolahku memilih Biologi. Biologi, menurutku mudah dipahami. Aku lebih bisa membayangkan proses kerja metabolisme ketimbang teori kuantum, sejak awal aku selalu berpikir bahwa di masa dewasa nanti, aku tidak membutuhkan ilmu fluida dinamis, optik, listrik, dsb. Bidang ilmu yang aku senangi ada 3, medis, seni rupa, dan bahasa. Dan hal-hal yang berbau seperti teknik dan angka, sebisa mungkin aku hindari.

Singkat cerita, tanggal 26 April 2017, hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur SNMPTN tiba. Sebenarnya yang kali ini aku jauh lebih tawakkal. Aku tidak terlalu berharap diterima. Aneh. Karena aku sadar, nilaiku mustahil untuk bisa diterima di Fakultas Kedokteran. Tapi ya, siapa sih yang bakal nolak kalau diterima di fakultas dan universitas yang diinginkan?

Pengumuman SNMPTN ini dibuka serentak di sekolahku sekitar pukul 8 pagi. Kelas terasa hening. Kemudian berdatangan jeritan histeris bahagia dari kelas dan luar kelas. Cukup banyak siswa yang diterima. Ucapan selamat diberikan pada mereka yang terpilih. Aku juga mendapatkannya. Bukan ucapan selamat, tapi ucapan "sabar..."

Aku tidak boleh sedih. Tidak boleh. Tidak boleh... Tapi diam-diam aku masuk ke kamar mandi sekolah dan menangis disitu. Puas menangis. Kuhapus air mata itu dan keluar dari kamar mandi dengan senyum lebar. Siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berdatangan.

Diam dan buka buku. Itu saja. Artinya aku harus berusaha lebih. Berdoa lebih. Aku menjadi lebih rajin untuk belajar di sekolah dan di bimbel. Sampai malam pun tidak masalah. Usaha tidak akan mengkhianati. Benar?

Satu persatu, teman-teman yang biasanya menemaniku untuk belajar mulai menghilang. Bagi mereka yang sudah diterima, artinya liburan sudah di mata mereka. They worth it. Simple. Mereka bisa tersenyum lebar saat pesta perpisahan sekolah nanti. Ketika beberapa dari yang lain masih tidak bisa tidur memikirkan masa depannya.

Belajar, belajar, belajar. UAS, ujian praktek, UN. Lewat sudah. Tapi yang penting adalah ujian akbar ini. Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Aku tidak terlalu memikirkan ujian mandiri untuk PTN. Mahal. Aku tidak ingin memberatkan kedua orang tuaku. Kalau bisa, cukup lulus dari seleksi tulis ini, atau, menunda setahun. Gap Year.

16 Mei 2017. Hari ujian SBMPTN datang juga. Jujur saja, aku memang sudah belajar. Namun tidak pernah merasa cukup dengan apa yang sudah aku pelajari. Rasanya otakku masih kosong. Dan benar saja. Saat mengerjakan soal Saintek terutama bidang fisika dan matematika ipa, mataku sendu. Apa ini. Asimtot? Aku pernah diajari ini namun lupa total. Biologi masih okelah. Kimia...entah. Aku benar-benar ingin menangis. Hanya bisa beristighfar. Berjanji akan mencari lumbung nilai di Tes Potensi Akademik. TPA. Alhamdulillah, yang satu ini lancar.

Untuk pilihanku saat SBMPTN masih sama, masih keras kepala. Tetap Fakultas Kedokteran dan Biologi. Kali ini di universitas yang identik dengan warna kuning itu. Entahlah. Nekat memang. Setelah pulang dari ujian SBMPTN, hari-hariku hanya terisi dengan kecemasan.
Selama masa-masa cemas itu, tentu pikiran selalu dihantui dengan bayangan akan tidak lulus jalur SBMPTN. Siapkah aku menunggu setahun hanya untuk mempelajari pelajaran SMA tingkat dewa itu? Siapkah aku bertemu dan kembali belajar bersama adik-adik kelas? Siapkah ketika aku membuka Instagram dipenuhi dengan postingan twibbon selfie teman-teman sekolah dengan almamater barunya. Siapkah?

Kemudian tibalah hari perpisahan. 25 Mei 2017. Semua orang berdandan cantik dan juga keren. Aku pun memakai kebaya yang dijahit oleh tanteku. Aku datang bersama adik dan ibuku. Datang ke pesta perpisahan ini, rasanya tidak "sreg". Hanya akan "sreg" ketika kamu datang ke pesta perpisahan sambil menggenggam calon kampus kelak. Dan aku belum. Dan sebagian yang lain pun belum.

Yang bikin hati linu, ketika di layar proyektor aula besar itu menayangkan siswa-siswi yang sudah berbahagia diterima di jenjang akademi selanjutnya. Nama, kampus, jurusan. Di hadapan ratusan siswa dan orang tua. Maafkan aku, saat fotoku ditayangkan, hanya tersedia gambar sesosok gadis. Hanya nama, tanpa nama univ dan jurusan. Maaf. Maafkan aku, ibu.

Ramadhan tiba. Sungguh kesempatan yang amat baik untuk meminta sejadi-jadinya pada Yang Maha Kuasa. Shalat malam dan setelah terbit fajar menjadi lebih rutin. Pesanku, lanjutkan kebiasaan yang baik ini. Jangan hanya saat ada yang sedang diinginkan saja.

Merasa was-was tidak diterima di jalur tulis, aku mulai mencoba untuk mendaftar jalur mandiri. Aku mempunyai beberapa pilihan ujian mandiri ketika itu. IPB, UNS, Undip, Poltekkes Jakarta, dan Unsoed. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku hanya memilih 2. UNS, karena menggunakan nilai SBMPTN dan biaya pendaftarannya lebih murah, dan Poltekkes Jakarta. Poltekkes Jakarta sendiri ada 3 sekolah. Politeknik Kesehatan Jakarta I, II, dan III. PKJ II dan III jaraknya cukup jauh dari rumahku. Harus menaiki kereta atau menyewa kos. Surprisingly, ternyata Poltekkes I ini dekat dari rumahku. Hanya naik satu kali angkutan umum. PKJ I ini letaknya dekat dengan RS Fatmawati.

MASIH keras kepala. Aku tetap memilih FK di UNS. Pokoknya dokter. Tapi kalau dipikir-pikir, semangatku untuk menjadi dokter ini mulai kendur. Padahal penolakkan ini masih belum ada apa-apanya di luar sana. Lalu aku berpikir kembali. Apakah benar, aku memang ingin menjadi dokter? Padahal untuk melihat korban kecelakaan secara langsung saja lututku masih sedikit bergetar. Bagaimana saat menangani kelak? Kala itu, aku masih meyakinkan diri dengan paradigma "ah, nanti kan lama-lama juga terbiasa!". Begitu. Kenapa aku masih juga keras kepala dengan jalan menjadi seorang dokter.

Aku suka dunia medis. Aku ingin membantu orang. Apakah hanya dengan menjadi seorang dokter? Kan tidak. Makanya aku kembali melihat laman pendaftaran jalur tulis PKJ I. Hanya boleh memilih 2 dari 4 pilihan. Pilihan pertama, perawat. Perawat? Sebenarnya aku memang suka membantu orang, tapi menjadi seoarang perawat? Aku kurang yakin. Banyak hal. Kemudian pilihan kedua, kebidanan. Bidan? Wah, menolong seorang ibu melahirkan sungguh pilihan yang mulia. Pekerjaan ini sungguh bermanfaat. Menolong 2 orang sekaligus atau lebih jika kasusnya bayi kembar. Aku memasukkan ini ke pilihanku. Kemudian pilihan ketiga, perawat gigi. Hmmm. Aku kurang tertarik. Aku tidak berpikiran untuk terjun ke dunia kedokteran / keperawatan gigi. Lanjut. Dan yang terakhir...ortotik prostetik. Hah? Apa ini? Kok? Namanya keren...

Apa itu ortotik prostetik?

Begitu ketikku di pencarian google.com. Dan keluarlah berbagai informasi yang memuat kata-kata "alat bantu", "alat ganti", "asing", "jual kaki palsu", "disabilitas", "biomedical engineering". Dan aku menyimpulkan dengan satu kalimat :

"Sekolah membuat kaki palsu?"

Aku teringat dengan acara favoritku di salah satu stasiun televisi swasta yang saat itu menayangkan tentang gerakan 1000 kaki palsu. Aku menontonnya dengan antusias dan kagum dengan apa yang mereka lakukan. Unik. Mulia. Jarang. Begitulah.

Dan yang membuatku semakin penasaran, sekolah dengan jurusan ini hanya ada 2 di Indonesia. Satu di Surakarta, dan satu lagi di Jakarta. Tanpa ragu, aku juga ikut memasukkan pilihan jurusan itu ke prioritas pertama.

Ujian tulis PKJ I tiba. Entah kenapa, aku makin bersemangat dan sangat berharap untuk bersekolah disana. Dari sekolahku, belum pernah ada yang masuk di tempat itu. Jadi bila aku masuk, aku bisa membagikan pengalamanku di SMAku nanti. Ada 4 rangkaian tes. Tes tulis, tes kesehatan, tes psikotes. Khusus untuk jurusan ortotik prostetik, ada tes tambahan yaitu wawancara bahasa Inggris. Rangkaian tes aku lalui. Dan belakangan aku baru tahu, hanya 20 siswa yang diterima di jurusan ini tiap tahunnya. Kecemasanku datang kembali...

Pengumuman SBMPTN dan ujian mandiri PKJ I ini jatuh di tanggal yang bersamaan, 13 Juni 2017. Tanggal sakral itu. Aku berdoa, Ya Allah, setidaknya luluskan hamba di salah satu tempat, atau semuanya. Izinkan hamba bisa duduk di bangku kuliah tahun ini....

Pengumuman SBMPTN dibuka pukul 14.00 WIB. Shalat taubat, shalat hajat. Ya Allah, buat orang tua hamba tersenyum di hari ini... begitu doaku. Sebenarnya, aku jauh lebih menantikan detik-detik dibukanya pengumuman SBMPTN ini. Hingga lupa kalau sebenarnya pengumuman di Poltekkes pun sudah ada. Teringat, aku membuka website penerimaan mahasiswa baru disana. Tanganku gemetar. Ya Allah...hamba bisa kuliah juga di tahun ini. Alhamdulillah, alhamdulillah...

Segera ku berlari ke dapur dan memeluk ibuku. Ibuku tersenyum bahagia. Saat itu pukul 13.00. 1 jam lagi menuju pengumuman SBMPTN. Aku berharap, tapi harapan itu tak sebesar beberapa menit yang lalu. Apa karena mentang-mentang aku sudah menggengam satu?

5...4...3...2...1. Bismillah. Disaksikan oleh ibuku, kami melihat ke arah website pengumuman SBMPTN. Abu-abu. Bukan merah kejam seperti website SNMPTN kala itu. Tapi masih bukan hijau.

Ya Allah...selamat tinggal jalan kedokteran....

Menangis. Tentu. Ya, memang sih aku sudah diterima, tapi rasanya ditolak oleh sesuatu yang kita perjuangkan mati-matian? Duh...Tapi dalam hati aku memaksa dan memarahi diriku sendiri. Harusnya aku bersyukur! Di luar sana masih banyak anak yang menangis tanpa tahu nasib selanjutnya.

Dan tiba-tiba ponselku berdering tanpa henti. Banyak yang mengirim pesan via Whatsapp maupun Line kepadaku. "INASYA BAGAIMANA? DITERIMA???" "NAS LO GIMANA HASILNYA???" "Assalamualaikum Inas, gimana SBMnya?", dan banyak lagi yang serupa.

Yang mengirim pesan-pesan itu adalah mereka semua yang sudah diterima di PTN. Baik jalur SNM, SBM, atau PPKB. Aku turut berbahagia. Kujawab dengan sejujurnya bahwa aku tidak diterima di jalur SBM namun diterima di ujian mandiri Poltekkes. Semuanya lega dan memberikan selamat. Setelah itu pergi dan menanyai yang lainnya. Sungguh, hari yang tidak bisa terlupakan.

Oya, ada satu cerita lagi, jadi aku mempunyai teman-teman yang baik sekali. Teman-teman sekelasku yang sudah diterima di jalur undangan dan tulis, konvoi dengan sepeda motor dan mendatangi rumah-rumah teman sekelas yang masih belum diterima di PTN. Aku memang sudah diterima di Poltekkes, tapi tetap didatangi. Mereka membawa camilan-camilan dan pesan-pesan yang tertera di sticky notes, isinya berbagai pesan dan doa. Lalu beberapa menit kemudian datang lagi Gojek yang membawa barang dari teman baikku sejak SMP. Dia sudah diterima di Psikologi UI. Isinya juga camilan, surat, dan PANADOL! OMG thanks! I am feeling pretty dizzy but really happy too!!! I love you!!! Thank you very much to everyone!

Begitulah, hari-hari yang melelahkan itu digantikan oleh kisah-kisah manis. Yang membuatku banyak bersyukur, diberikan orang tua yang luar biasa, teman-teman yang super baik, dan juga kesempatan untuk mengeyam pendidikan kuliah. D4! Calon sarja sains terapan! Aamiin.

Jadi, bagi pembaca khususnya teman-teman kelas 3 SMA, kuncinya hanya itu. DOA DAN USAHA. Kalau kalian galau menentukan kuliah dimana, pertama-tama, pertimbangkan apa kata orang tua. Prioritasin itu dulu. Kalau kalian nggak suka dengan pilihan orang tua kalian, coba diskusiin lagi, Percaya deh, kesuksesan kalian itu ada di tangan orang tua juga. Kalau orang tua kalian ridho, insya Allah kedepannya jadi orang yang sukses. Lalu yang kedua, pertimbangkan masa depan kuliahnya bagaimana, kayak gimana belajarnya nanti, prospek kerjanya apa, manfaatnya apa, kalian bisa berkontribusi apa untuk sekitar dengan kuliah yang kalian pilih kelak, dsb. Menurutku, di zaman sekarang itu tuh nggak usah deh yang namanya gengsi-gengsian. Jangan kemakan sama kata-kata "yang penting kuliah!". Nanti jadi seperti cerita salah satu temanku yang saat ini menyesal dengan pilihan kuliah yang ia dapat. Jadinya tahun depan mau mengulang SBM lagi di jurusan yang berbeda. Padahal diluar sana ada ribuan orang yang menginginkan bangku tersebut. Namun kalau kalian lebih memilih "university oriented" ketimbang "jurusan oriented", silakan. After all, it's your choice guys :)
Ketiga, inget juga sama pepatah ini "ketika kalian tidur, ribuan saingan kalian sedang belajar di luar sana". Baca novel trilogi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karangan Ahmad Fuadi deh. Usaha sedikiiiiit lebih aja dari orang lain, maka kalian akan menang. 

First dan the last. Doa. Doa. Doa. Baik-baik sama orang tua. Kelas 12. Tunda setahun main-mainnya. Tapi seandainya kalian sudah berusaha, berdoa, lalu gagal, coba koreksi diri kembali, ada kesalahan kah yang membuat kita gagal di tahun ini? Tapi satu hal, tetap berprasangka baik dengan Tuhan kalian. Bagi yang Muslim, ingat ini : 

Allah menjawab do'amu dengan 3 cara :
- Ya, Aku kabulkan doamu
- Ya, Aku kabulkan doamu nanti, Aku ingin melihat lagi usahamu
- Tidak, Aku punya rencana yang lebih baik daripada permintaanmu

Mudah kan? :)


And veeerrryyy last, my favorite quote ever. 

Turn back to Allah :)


Kay, we can end it here. Next time, i will write about my 1st year as college student. In JSPO!




Depok, 22 Oktober 2017, 21.45 WIB

ISY
Continue reading Transisi

17.5.17